Saya di mata Widi

Koma pernah dialami Ir. Onny Hendro, 35 tahun. Waktu itu, tahun 1995, rekan saya ini mengalami kecelakaan di tol Cikampek. Mobilnya terbalik di jalur pembatas. Ia tak ingat siapa yang nyopiri. Yang pasti, teman satu mobilnya meninggal setelah koma lebih dari empat tahun.

Onny ”hanya” koma 25 hari. Dan, selama tidur panjang itu, ia seperti menghadapi layar lebar perjalanan hidupnya. Segala ulah Onny dan perilaku kenalan dia tersorot diputar ulang. Buntutnya, begitu sadar, beragam kebusukan orang di layar itu melekat pada otak Onny. Ia muak oleh kemunafikan mereka.

Selain itu, ”Saya menjadi sensitif, peka,” katanya. Melihat seseorang, langsung bisa membaca pikiran dan kelicikannya. Onny memang tak berani menjamin ramalannya 100% jitu, tapi paling tidak 70-80% oke. Bukan hanya itu, ia juga merasa ucapannya bertuah. ”Saya takut bicara yang jelek-jelek,” katanya.

Maka, sifat pemarahnya pun ditekan. Bila ada orang yang mencemooh, mencaci, menghina, memfitnah, bahkan seumpama meludahi pun, tidak akan dibalasnya. Padahal, dulu Onny dikenal sebagai preman yang main tempeleng. Perilakunya berubah total. Hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain.

Kini Onny prihatin atas moral bangsa ini yang nyaris hilang kepekaan dan tak punya rasa malu. Misalnya, tinggal di kompleks mentereng, mobil berderet, tapi giliran dimintai sumbangan untuk kepedulian sosial, aduh pelitnya minta ampun. Uangnya cuma menetes. Tak sebanding dengan rezeki dari Allah.

Maka, di mata Onny, berbuat baik itu terasa jadi barang langka. Karena itu, ia ingin memberi keteladanan. Nasihat ”jika tangan kananmu memberi, tangan kirimu jangan sampai tahu” tidak sepenuhnya disepakati. Ia memberi justru berharap agar amalnya diketahui orang, dengan catatan: ”Tuhan, tolong tutup keran keriya’an saya.”

Dan, jika Islam mewajibkan zakat 2,5%, Onny bisa menyisikan 60% rezekinya untuk zakat, infak, dan sedekah. Ia mengibaratkan diri sebagai talang air, yang sekadar basah. Konsep meringankan umat ini, alhamdulillah, justru membuat rezeki Onny, yang juga memiliki sekitar 100 karyawan itu, tidak pernah kekurangan.

Rezeki datang tanpa dinyana. Bayangkan, saat keluar dari rumah sakit, Onny masih punya utang Rp 4 juta. Rumah dan mobilnya ludes. Tapi, enam bulan kemudian, ekonominya pulih. ”Itu sangat sulit dinalarkan. Tak masuk akal,” katanya, sembari geleng-geleng kepala dan menyebut kebesaran Allah.

Hidupnya pun tanpa keserakahan. Jika ada sanak atau teman perlu bantuan, ia tak segan-segan menolong. Kendati orang yang ditolong itu belakangan ngemplang plus menjelek-jelekkan, Onny tetap menggusur kebencian dari otaknya. Maka, kala rekan itu datang tanpa malu dan minta tolong, ”Ya, saya menolongnya,” katanya.

 

Esai Widi Yarmanto (GATRA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *